Minggu, 08 Januari 2017

Cerpen "Upacara Hoe"


Guntur Alam

SEMINGGU sebelum kematiannya, Papa meminta Mei Lan menghubungi kedua adiknya, A Feng dan Gina untuk pulang. Terutama A Feng karena dia anak lelaki satu-satunya. Papa ingin menjemput ajal di tengah anak-anaknya, selain itu Papa ingin agar A Feng yang membawa hoe[1] saat peti matinya diantar ke pemakaman. Hanya anak laki-laki yang berhak membawa hoe. Namun masalahnya, sejak dulu A Feng tak pernah merasa sebagai anak laki-laki Papa.


Papa meninggal kemarin malam, pukul dua belas setelah berjuang melawan kanker usus yang dia derita. Semenjak itu pula, anak-cucu Papa membakar nyuko untuk bekal perjalanannya. Uang kertas bergambar bujur sangkar berwarna perak di tengahnya itu dipercaya sebagai uang akhirat yang berlaku di dunia roh. Dunia baru Papa.

Ruang tengah tempat peti mati Papa diletakan sudah bersih dari sofa, lemari, dan perabotan rumah tangga lainnya. Asap hio meliuk-liuk, mengiringi doa-doa yang dipanjatkan. Isak-tangis dan ratapan terus memenuhi ruangan. Mata A Feng memerah. Dari dulu dia benci dengan ratapan di dekat peti mati, baginya kematian adalah awal sebuah kehidupan baru. Untuk apa diratapan? Usai ini, Papa akan hidup bahagia di kahyangan atau bereinkarnasi untuk menebus dosa di kehidupan sebelumnya.

Dosa. A Feng seakan baru saja mendengar satu dari sepuluh perintah Tuhan yang diceritakan Joshua saat mereka SMP dulu. Mengingat Joshua membuat A Feng ditarik ke dalam ruang kamar mandi yang gelap, sempit, basah, dan dia yang didera rasa takut serta kedinginan.

“Anak gila kau! Anak gila!” Papa berteriak seperti kesetanan, lalu lecutan ikat pinggang mendarat ke punggungnya yang putih tanpa baju. Dia tersungkur di lantai. Meringis. Menahan sakit. Sementara gerimis sudah turun tanpa guntur di sudut matanya.

“Oh Dewa! Karma apa yang menimpahku!”

Papa meninggalkannya di dalam kamar mandi yang terkunci, di atas lantai dingin dengan tubuh bugil dan menggigil. Sementara di luar sana, dia mendengar isak tangis Mama yang tak berdaya, juga tangis kakak perempuannya; Mei Lan.


PAPA baru saja selesai dimandikan dan Mama tengah menyiapkan tujuh lapis pakaian yang akan dikenakan Papa sebelum dia berbaring di dalam peti matinya, saat Mei Lan membawa A Feng dan Gina ke dalam kamar yang dulu ditempati A Feng sebelum dia tinggal di Jakarta.

“Mama ingin masa berkabung tidak terlalu lama,” ucap Mei Lan, dia satu-satunya anak Papa yang sudah menikah dan memberinya tiga orang cucu. “Besok kita akan memakamkan Papa.”

“Baguslah,” Gina menyahut cepat. “Cutiku juga sebentar. Aku harus kembali ke Jakarta.”

Mei Lan menghela napas mendengar ucapan Gina. Anak bungsu Papa yang tomboy itu seakan tak peduli.

“Pekerjaanku sangat banyak,” tambahnya, tanpa dosa.

“Aku menunda kepergian ke Belanda bersama Joshua untuk memenuhi keinginan Papa. Kurasa pengorbananku lebih banyak darimu,” A Feng membuang wajah. Dari dulu, antara dia dan Gina memang jarang akur. A Feng merasa tubuh yang dia miliki adalah tubuh Gina, sementara tubuh Gina adalah tubuhnya. Mungkin para dewa di kahyangan telah salah menitiskan jiwa mereka.

“Kau masih berhubungan dengan Joshua?” Mei Lan melipat tangannya di dada.

“Aku mencintainya, Tuaci. Dan kami akan menikah di Belanda.”

“Feng!” Mei Lan membentaknya. A Feng melengos. “Kau jangan mengecewakan Papa.”

“Jangan cerahami aku, Ci.”

“Ini bukan ceramah, tetapi ini tentang budaya kita sebagai orang Tionghoa. Kita diwajibkan untuk menghormati dan berbakti kepada orangtua. Dan kau tahu apa artinya itu?” Mei Lan memandang A Feng, laki-laki berwajah manis dengan jari jemari lentik itu tak menjawab. “Artinya kita harus membuat Papa tenang dan senang. Jangan menimpahkan karma buruk dalam hidupmu, dalam keluarga kita, dalam perjalanan Papa ke alam akhirat.”

Hening. Mei Lan tahu, A Feng tak pernah mau berdebat dengannya. Sesungguhnya A Feng adalah adik yang baik dan manis. Setidaknya bagi Mei Lan. Hanya saja, sejak dulu A Feng dan Papa tidak pernah akur. Terutama tentang pilihan hidup.

“Pokoknya, sebagai anak laki-laki Papa, kamu yang akan membawa hoe di depan peti mati.”

“Suruh Gino. Dia anak laki-laki Papa,” A Feng tergesa pergi, keluar dari pintu kamar, meninggalkan Mei Lan yang nyaris saja jatuh ke lantai kamar. Di depannya, Gina hanya diam dan membuang muka ke arah jendela.

Saat menyadari A Feng sudah menghilang di balik daun pintu kamar yang tertutup, Mei Lan terburu mengejarnya. Namun dia urung melakukan niatnya karena berpapasan dengan Mama yang membawa tujuh lapis baju yang akan dikenakan pada Papa.

“Bantu Mama memasang baju ini,” pinta perempuan dengan uban memutih di kepalanya itu. Mei Lan tak menjawab sepatah kata pun. Dadanya terasa memar. Dia mengambil baju-baju yang ada di pangkuan Mama. Dalam diam dia mengekor di belakang Mama.

“Baju putih ini, baju yang Papa kenakan saat kami menikah dulu,” ucap Mama saat lapis pertama baju dikenakan pada Papa. Memang demikian aturannya. Lapis pertama dari tujuh lapis baju yang akan Papa kenakan dalam perjalanan ke akhirat adalah baju putih yang dikenakan saat almarhum menikah dulu.

Pikiran Mei Lan tidak tertuju dengan apa yang dia kerjakan. Dia masih teringat dengan penolakan A Feng. Lalu bayangan-bayangan buruk di masa lalu itu menghantam ingatannya tanpa ampun. Tentang A Feng dan kerasnya Papa mendidik anak laki-lakinya itu. Namun A Feng tetaplah A Feng yang dia tahu. Adik laki-lakinya yang lembut, yang gampang menangis, tak pandai berkelahi dan lebih senang main boneka dengannya tinimbang main perang-perangan.

Setelah tujuh lapis baju dikenakan, Papa dibaringkan di atas tempat tidurnya. Wajahnya yang tirus membuat kepedihan menggelayuti mata Mei Lan. Lenyap sudah kebengisan yang terpasang di wajah Papa dulu. Mei Lan hanya dapat memerhatikan ketika tangan keriput Mama memasangkan mutiara di mata, mulut, hidung, dan telinga Papa. Mei Lan ingat, dulu saat kematian kungkung, neneknya pernah bercerita jika mutiara ini dipercaya sebagai penerang bagi mayit selama perjalanan menuju alam akhirat.


“AKU capek berpura-pura, Ci. Aku capek.”

Mei Lan menggigit bibirnya. “Tapi ini salah. Kau menyalahi aturan.”

“Ci,” A Feng mengambil tangan Mei Lan, kemudian menggenggamnya, hangat. “Dari dulu Tuaci tahu apa yang kuinginkan.”

Mei Lan merasa nyawanya tercerabut saat itu juga. Bayangan A Feng yang hobi mencoba lipstik dan bedak barunya, juga baju-baju dalam lemarinya. Tak hanya itu. Mei Lan pernah memergoki A Feng dan Joshua berciuman dan … ah, Mei Lan tak sanggup mengingatnya. Dia pikir, apa yang A Feng dan Joshua lakukan di masa itu hanyalah kenakalan dan keingin-tahuan anak kelas tiga SMP. Sungguh dia masih menyesal sampai detik ini, karena dialah yang mengadukan apa yang dilihatnya kepada Papa. Tanpa ampun, Papa menghajar A Feng dan mengurungnya di kamar mandi. Sejak itu pula Papa melarang A Feng berteman dengan Joshua, satu-satunya teman yang dimiliki A Feng sejak dari TK.

“Ini kesempatanku untuk menentukan pilihan hidup, Ci,” suara A Feng merambat perlahan di telinganya.

“Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa harus di upacara kematian Papa?”

“Karena ini kesempatan terbaikku,” suara A Feng terdengar mantap.

Mei Lan terdiam. Memandangnya.

“Aku ingin menjadi anak perempuan Papa seutuhnya. Anak perempuan kedua Papa. Tak peduli orang lain mau berkata apa tentang pilihan hidupku. Karena aku merasa diriku perempuan.”

Mei Lan merasa oksigen pergi menjauh dari jangkauan hidung, mulut dan paru-parunya.

“Tuaci juga tahu kan, kalau Gina pun menginginkan hal yang sama,” A Feng melanjutkan ucapannya, terdengar santai, tanpa beban. “Dia ingin menjadi anak laki-laki Papa. Satu-satunya. Seutuhnya. Tak peduli orang lain berkomentar apa pun tentang dia. Dan asal Tuaci tahu, Gina sudah punya pacar. Namanya Riska. Teman kantornya. Gina pernah menceritakan semuanya. Dia bahagia. Aku bahagia dengan pilihan hidupku. Hanya itu. Tak ada yang lain. Urusan dosa, karma, dan lainnya itu urusan kami dengan Tuhan.”

Mei Lan merasa mendengar suara lecutan ikat pinggang Papa yang mendarat di kulit punggung A Feng bertahun-tahun lalu. Kulit punggung yang putih tanpa sehelai kain. Tak ada jeritan. Tak ada tangis dari dalam kamar mandi itu. Dia tahu, A Feng telah menggigit tangisnya agar tak terdengar olehnya dan Mama. Sementara lecutan ikat pinggang yang beradu dengan kulit A Feng menerornya, dia meringkuk ketakutan dalam pelukan Mama. Mereka berdua bertangis-tangisan. Sementara Gina, dia hanya berdiri mematung, memandang siluet punggung Papa yang ada di depan pintu kamar mandi.


ENTAHLAH, Mei Lan masih saja didera cemas dan ketakutan. Dia merasa keputusan yang telah mereka ambil sangatlah buruk. Bayangan karma dan feng shui buruk menghantui pikirannya. Juga ratapan Papa dari alam akhirat. Namun, ucapan Mama-lah yang membuatnya sedikit tenang.

“Tak apa. Jangan risau. Setiap orang punya pilihan dalam hidupnya. Mama yakin Papa setuju dengan keputusan kita. Sejak dulu, Papa sering bercerita betapa dia menyesal sudah begitu keras terhadap A Feng.”

Mama berusaha tersenyum.

“Hanya saja Mama minta satu hal, sama seperti keinginan Papa yang tak sempat dia utarakan pada kalian,” Mama menelan ludahnya. “Kalian harus saling menjaga dan tetap berkumpul layaknya keluarga Tionghoa lainnya di mana pun kalian berada. Keluarga adalah nomor satu.”

Air mata Mei Lan tumpah ruah saat melihat A Feng memeluk dan mencium Mama. Mengingat semua itu membuat Mei Lan perlahan tenang. Upacara kematian Papa akan memasuki puncaknya. Meja persembahan sepanjang dua meter sudah dipenuhi hidangan. Di bagian depan meja, kepala babi telah tersedia, pun dengan kepala kambing di meja berikutnya. Tak lupa buah-buahan dan berbagai hidangan. Hidangan upacara kematian berupa sam seng terdiri dari daging dan minyak babi, ayam, darah babi, telur bebek –semua direbus—pun sudah diletakan dalam piring lonjong besar di atas meja.

Cayma sudah meminta mereka untuk menyembah dan berlutut di depan peti mati Papa, lalu mengikutinya untuk mengintari peti mati itu sambil berjongkok dan terus menangis. Mei Lan berusaha tenang, terutama melihat Mama yang terlihat tak cemas sama sekali.

Dada Mei Lan bergemuruh ketika usai melakukan penghormatan terakhir dan melihat Gina yang berdiri di depan peti mati Papa. Gina yang memegang foto dan hoe. Beberapa kerabat menatap Mama, tetapi Mama seakan tak melihat tatapan mereka. A Feng perlahan tersenyum ke arah Mei Lan.

Saat peti mati Papa diangkat, sebuah semangka dibanting ke lantai hingga pecah. Itulah tanda kehidupan Papa di dunia fana telah usai. Hoe di tangan Gina berkibar-kibar, seakan penanda bila kehidupannya dan A Feng baru saja dimulai. 

[1] Bendera kertas warna putih bertuliskan aksara Cina di atas sebilah bambu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar