Minggu, 08 Januari 2017

Esai "Kartu Pos dalam Cerita Pendek"


Alex R. Nainggolan

Sebuah kartu pos memang merupakan sebuah benda yang “klasik” saat-saat ini. Beragam berita bisa saja tertulis di sana. Jika dulu kartu pos merupakan alat yang efisien untuk mengabarkan suatu peristiwa, sekarang orang-orang justru lebih memilih alat komunikasi lainnya. Lewat ponsel, misalnya-yang langsung berkabar saat itu juga. Dengan media SMS, dengan cepat menuju pada tempatnya. Murah, cepat dan efisien. Lantas mengapa seorang Agus Noor, penulis cerita pendek yang lumayan produktif kembali mengangkat masalah kartu pos? Jika dulu Chairil Anwar bercakap masalah puisinya dengan H. B. Jassin dengan kartu pos, memang terasa aura kehangatan di sana. Sapaan kata, dengan pelbagai kegalauan hatinya dapat dirasakan yang kesemuanya disimpan dengan rapi di PDS H.B. Jassin.

Barangkali karena klasik itu tadi. Segala hal yang kuno menjadi antik. Penggunaan kartu pos sebagai pengantar kabar kembali dikuak. Dengan demikian, segala hal yang penuh dengan aroma nostalgia tercuat lagi. Kesan yang tumbuh di sana, ialah sebuah pesan yang penuh dengan canda meski tetap serius. Tulisan-tulisan tangan dari seorang sahabat yang dirindukan dengan pelbagai tanggapannya terhadap cerpen-cerpennya. Semuanya itu dapat disimak dalam kumpulan cerita pendek terbarunya, diterbitkan oleh Kompas pada bulan September 2006.

Setelah menerbitkan kumpulan monolog Matinya Toekang Kritik, Agus menghimpun sejumlah cerpennya yang tergabung dalam Potongan Cerita di Kartu Pos. melalui prosanya Agus berkisah banyak peristiwa. Terkadang ia hanya menyentil sebagian misteri kehidupan. Sejumlah cerita yang ditulisnya mengingatkan kita pada gaya kisah realis, dengan pelopornya semacam Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya-meskipun imaji yang ditawarkan agus terasa lebih menyayat. Kebanyakan cerita yang ditulisnya lebih bersimbiosis pada kehidupan yang kejam, penuh dengan kekejian, dendam maupun petaka berbalut jadi satu.

Agus tidak serta mertya berkhotbah ihwal mana yang baik atau tidak. Ia dengan luwes memaparkan realita tersebut. Membalutnya dengan imaji yang terasa seperti puisi. Ia mengambil sikap untuk menjadi juru cerita saja, tida lebih. Membiarkan ceritanya untuk ditafsirkan secara luas. Dengan demikian, cerita-ceritanya dapat masuk ke dalam benak pembaca-katakanlah untuk mencerna kembali apa yang dimaksud pengarang.

Kumpulan ini terdiri dari sembilan cerita. Pun ada sebuah cerita yang terdiri dari tiga bagian. Lainnya juga terkadang merupa puzzle, acak-acakkan-sehingga jika ingin tahu keseluruhan cerita secara utuh pembaca harus membacanya dulu sampai habis. Kemudian menyusunnya kembali di kepala. Setelah itu baru terang, apa yang diumaksud pengarang. Alur cerita bisa dengan segera memadat, kemudian cair kembali. Ketegangan demi ketegangan bisa hadir berulangkali dalam cerpen-cerpennya. Agus dengan lihai menjungkirkan peristiwa, membuntingi realitas untuk kemudian menertawakannya.

Dalam “Komposisi Sebuah Ilusi” misalnya imajinasi tokoh dengan maneken. Maneken yang hadir bergantian dengan tokoh laki-laki sehingga lebih cocok sebagai dialog. Imajinasi yang liar-mungkin muncul dari bawah sadar kian menguatkan cerita ini. Setiap penuturan dibalas dengan paragraf lainnya. Kebinalan gairah untuk bersetubuh hadir bergantian. Dengan ketertarikan secara seksual. Meski pada akhirnya laki-laki dan boneka tersebut memang bercinta dan si lelaki mati. Mungkin oleh cinta? Agus mendeskripsikan aroma percintaan tersebut dengan diksi yang puitis: Kami saling pandang sama-sama terangsang. Kami segera bergegas ke sebalik rimbun pepohonan. Kami saling pagut saling regut. Peri dan mambang bermunculan dari dalam gelap, memandangi kami yang sama-sama menggelinjang telanjang. (halaman 12).

Keidentikan Agus ialah seringnya ia mengangkat masalah-masalah sosial dalam ceritanya. Kritik yang dilakukannya lebih diselimuti oleh aroma penindasan. Masalah gelandangan (kaum kere, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma) hadir dalam cerpen “Pagi bening Seekor Kupu-kupu” dan “Mata Mungil yang Menyimpan Dunia”. Meskipun Agus lebih menyamarkan semua idiom tersebut dengan kupu-kupu, atau sebuah mata. Kupu-kupu yang identik dengan metamorfosanya bertemu dengan bocah. Masalah ketimpangan antara si miskin dan kaya diangkat Agus dengan menyodorkan bentuk yang lain. Proses perubahan bocah menjadi kupu-kupu yang asyik mengintip perilaku hidup bocah lainnya.

Kecemburuan dengan pelbagai perbandingan sehingga muncul keinginan untuk bertukar tempat antara bocah dan kupu-kupu. Pada bagian II dengan bahasa polos yang kebocahan Agus menulis begini: pasti seneng. Enggak perlu ngamen. Enggak perlu kepanasan. Enggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Enggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu enggak mati, dan bapak enggak terus-terusan mabuk. Pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Enggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan. (halaman 45).

Tawaran bahasa yang dikembangkan Agus, barangkali teramat biasa. Namun bagaimana ia meraciknya, sehingga menelingkupi relung-relung batin pembacanya, merupakan sebuah keajaiban. Yang mengingatkan saya pada tawaran sejumlah cerita yang pernah ditulis Chekov, sebuah realitas yang dijabarkan, tanpa bermaksud menggurui pembacanya. Maka kita serasa diajak tamasya ke sebuah tempat, di mana kita dilepas dalam pengembaraan sendiri-sendiri saja.

Penjengukan terhadap upacara kehidupan manusia diramu dengan rumus yang sama: sederhana. Narasi yang mengisyaratkan bila kita mampu memeras inti dari hidup ini dengan tidak tergesa-gesa. Dan kita tidak diajak untuk menenggelamkan keterlarutan kita terhadap sebuah kesedihan, misalnya, dengan berlarat-larat. Dengan sigap Agus menawarkan keterpesonaan lain. Sehingga ia dapat dengan utuh merangkum sebuah kisah.

Pun dalam “Mata Mungil yang Menyimpan Dunia”, ia menyadap peristiwa kekaguman seseorang terhadap sebuah mata. Anehnya mata tersebut milik gelandangan yang kerap bermain-main di kolong jembatan. Barangkali kita yang setiap hari bertemu dengan gelandangan macam itu, jarang memerhatikannya. Barangkali kita terlalu angkuh untuk menatapnya, sebab kita terlanjur merasa jijik untuk melihatnya.

Namun Agus dengan sekejap mengisyaratkan bentangan peristiwa lain. Ia menulis begini dalam cerpen tersebut: Memandang mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Dunia yang tenang bening terbentang dalam mata mungil bocah itu. Dunia yang seolah-olah terus berpendaran dan perlahan membesar, hingga segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik dan lampu jalan menjelma menjadi barisan pepohonan rindang. Tak ada keruwetan, karena jalanan telah menjadi sungai dengan gemericik air di sela batuan hitam. (halaman 167). Barangkali memang benar adanya jika dikatakan bahwa mata adalah jendela jiwa. Melalui mata seluruh rasa terpancar, dengan warna-warni kehidupan di dalamnya.

Kritik yang dilontarkan Agus juga tak hanya berada di lingkar kehidupan horisontal. Ia pun mencoba untuk “menegur” penguasa lewat cerpennya. Cerpen “Cerita buat Bapak Presiden…”, misalnya Agus mengambil seorang tokoh yang ingin bertemu dengan Presiden yang diibaratkan dapat mendengar semua keluhan rakyatnya. Semula memang mendengarkan. Namun lama kelamaan dengan terbatasnya waktu, Presiden itu sendiri yang mengatakan untuk hanya mendengarkan perkataannya. Ah, betapa sulitkah untuk menjadi pendengar yang baik? Cerpen yang mengingatkan saya pula pada kisah Seno Gumira Ajidarma tentang nasib pendengar yang baik.
Demikianlah. Cerpen memang merupakan dunia tersendiri, setidaknya yang dirasakan oleh penulisnya sendiri. Dengan cepat setiap kali membaca sebuah cerita, terlepas apakah cerita tersebut realis atau imajiner-setiap orang bisa menertawakan sendiri ketololannya, ataupun penyesalan yang dilakukan diam-diam. Sebagai bahan permenungan cerita dapat segera larut di pikiran pembaca. Sebab, bagaimanapun pembaca merupakan raja terbesar. Tanpa adanya pembaca sebuah karya sehebat apapun tidak akan pernah “berbunyi”. Memang seluruh cerpen dalam buku ini telah dipublikasikan di media massa. Bahkan beberapa cerpen pernah diikutkan dalam antologi lain. Meskipun demikian sebagai kumpulan, cerita yang terjalin tetap menarik untuk disimak. Upaya Agus untuk membongkar seluruh sisi kehidupan, baik itu yang gelap maupun tidak layak diapresiasi. Sebagai pengamat kehidupan. Jika hidup tak melulu putih. Sebagai juru kisah Agus telah tampil dengan kisahnya. Seperti dongeng seribu satu malam. Namun Agus menyuguhkan hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Hidup yang malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, meminjam ungkapannya dalam cerpen Pesan Seorang Pembunuh. Barangkali kita dapat untung dengan membaca sejumlah cerita dari Agus. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar