Vika Wisnu
Kebun belakang rumah peninggalan Mas Amal menghadap ke sebuah empang kecil. Dulu, di seberang empang itu belum dibangun perumahan, kanan kirinya masih sawah. Dengan begitu, hampir setiap sore kami bisa menyaksikan matahari ”angslup”, tenggelam, bulat badannya habis ditelan pematang.
Sepuluh tahun setelah peringatan seribu hari suamiku itu, sebuah pengembang menguruk tanah becek tempat bulir-bulir padi berasal dengan komposit perkerasan, lalu membangun di atasnya kluster-kluster yang menyusun sebuah ekosistem baru bernama kota mandiri. Matahari masih terbenam di tempat yang sama, hanya saja kini lebih menyerupai kartu pos berwarna oranye pucat—yang biasa Mas Amal beli untuk menulis jawaban teka-teki silang, dan pagar batako yang memagari kawasan itu menjadi garis bibir bis surat raksasa.
Empangnya masih ada, suamiku membelinya. Dalam wasiatnya tertulis, ”Danau kecil ini kado ulang tahun buatmu, Sita. Maafkan aku tidak bisa menemanimu lebih lama.”
Ia meninggal karena kanker, pada hari ulang tahun pernikahan kami kedua belas, tepat di umurku yang ketiga puluh dua. Seingatku sejak itu, lebih dari sepuluh kali, bolak-balik orang suruhan perusahaan properti merayuku agar menjual tanah berkolam itu, setiap tahun nilai tawarannya selalu meningkat. Barangkali, tanpa empang itu, peta lokasi real estat-nya jadi kurang sempurna karena ada garis menjorok bila dilukiskan di atas kertas brosur. Atau mungkin ada emas di dasar genangan airnya bila digali sehingga pengembang mau menebusnya dengan harga sangat tinggi. Entahlah, yang jelas aku bersikeras tak melepasnya untuk nominal berapa pun. Dan tampaknya mereka sudah merekrut insinyur yang lebih pintar, yang ahli merencanakan site plan untuk kondisi lahan apa pun.
Belakangan, datang seorang lelaki berkulit legam, memintaku mengizinkannya menebar benih mujair di sana dan merawat tanaman di sekelilingnya, sekadar sebagai kenangan di masa lalu bahwa sebidang tanah itu pernah jadi miliknya. Aku tak keberatan karena bekas tuan tanah itu pun tak keberatan menjadi tukang kebunku. Diko—anakku semata wayang—dan Adrian, sahabatnya, senang sekali bermain di sana. Pak Us, demikian kami memanggilnya, mengajari mereka memancing, tapi dia akan mengamuk dan mogok bicara bila kedua bocah itu melakukan hal yang dilarangnya dengan keras: berenang di sana. Bagi Diko dan Adrian, hal itu kemudian menjadi tantangan tersendiri, bagaimana bisa berenang sepuas-puasnya tanpa Pak Us mengetahui. Ingatanku masih merekam tawa gaduh mereka saat menyadari Pak Us tak semudah itu dikelabui.
Di kebun belakang ini aku biasa menghabiskan waktu menulis, memeriksa naskah soal dan hasil ujian mahasiswa, mengeringkan daun-daun herbarium, memanggang sosis untuk pesta kebun Diko, dan—dulu, dulu sekali—membantunya memasang pasak tenda backyard camp bersama teman-temannya hampir tiap akhir pekan. Di sini aku duduk-duduk menunggu sunset show, kadang bersama Diko, adakalanya bersama ibu-ibu tetangga arisan PKK, lain waktu bersama kolega-kolegaku. Di sini pula setelah bocah-bocah itu beranjak remaja aku biasa mendengarkan cerita-cerita Diko dan Adrian tentang gadis-gadis yang mereka incar, ada beberapa yang nyaris jadi pacar, ada pula yang mati-matian menghindar. Kukatakan, ”Bodoh sekali gadis-gadis itu menampik pemuda setampan kalian.”
Diko tersipu, Adrian terbahak. Ia meniru Diko memanggilku Mama, bukan dengan sebutan ”tante” seperti umumnya. Sebagai sahabat, Adrian tahu banyak tentang rahasia Diko, dari Adrian juga seringnya aku mendapat informasi kepada siapa anak jejakaku itu jatuh cinta atau karena siapa ia patah hati.
Kebun belakang dengan danau kenang-kenangan Mas Amal itu menjadi saksi saat Diko berikrar menikahi Putri. Kami mengundang tak lebih dari seratus tamu, dan seorang kerabat mendekorasi setiap sudutnya sehingga menjelma suasana ijab kabul yang syahdu. Aku menitikkan air mata, dengan macam-macam rasa pada setiap tetesnya. Bahagia dan terpesona karena akhirnya aku sampai pada tujuanku mengantarkan Diko jadi ”orang”. Tidak mudah bertahan hidup sebagai orangtua tunggal meski sejujurnya lebih berat menyandang sebutan janda. Sedih dan cemas karena membayangkan setelah resepsi yang berkesan itu aku akan melewati hari-hariku seorang diri. Diko telah menandatangani kontrak dinas dengan perusahaan yang menerimanya bekerja untuk bersedia ditempatkan di mana saja, dan seminggu sesudah pernikahannya ia dan istrinya sudah harus berada di Samarinda.
Di kebun belakang itu juga di suatu pagi yang tanggung, bulan Februari ulang tahunku yang keempat puluh tujuh, Adrian berkunjung. Tak bermaksud mencari Diko, Adrian khusus membawakanku seikat bunga yang disimpannya di balik punggung. Aku sedang mengikis lumut di pot batu, takjub menerimanya, diulurkannya kepadaku dengan gaya berlutut yang jenaka. Kelopak-kelopak mawar sekonyong-konyong mekar, kebun belakang yang di hari-hari itu hanya berisi celotehan Pak Us dan Sarmilah tukang masak yang setia sekejap menjadi ceria. Adrian ikut tersenyum lebar, ikut bahagia. Seolah kurang cukup, ia menambahkan, ”Sita, maukah kau menikah denganku?”
Aku terpingkal, kuacak-kacau rambutnya. Kuingatkan bagaimana kusemprotkan air keran ke tubuhnya dan tubuh Diko yang penuh lumpur, tergelincir saat menyusuri pematang sawah dengan berboncengan sepeda. Adrian teringat belum berterima kasih kuurut engkelnya yang keseleo gara-gara Diko kebablasan mendorongnya hingga terjatuh dari pohon mangga. Kami bernostalgia, tentang murkaku saat menangkap tangan mereka berdua mengisap berbatang-batang sigaret di kamar, tentang permintaan ayah ibunya menjelang kenaikan kelas lima, agar kedua karib ini dikhitan pada tanggal yang sama.
Sependek yang kuingat, sejak hari itu pula kebun belakangku berubah warna. Mendung membuat pertunjukan matahari terbit terhalangi, cerah langit pagi jadi tak tergenapi. Sepanjang percakapan, Adrian terus-menerus memanggilku Sita, bukan Mama seperti biasanya. Memakai gayanya bercanda kutegur pemuda kawan seiring anakku itu agar kembali sopan, tapi air mukanya berubah setenang permukaan empang. Tak ada yang berloncatan, benih mujair baru ditanam kemarin lusa, yang gemuk-gemuk sudah dipanen seminggu sebelumnya. Adrian menjelaskan, ia tak bermaksud kurang ajar.
”Sita....” bersikukuh ia, suara bocahnya tak bersisa. Baru kusadari yang berbicara di hadapanku ini kini adalah seorang lelaki yang telah matang sempurna. Kurisan cambang membentuk garis rahangnya, dadanya setegap serdadu, tulang hidung yang lurus telah membangun keseluruhan profil wajahnya yang tak lagi lugu.
”Gadis-gadis itu tak pernah menolakku,” katanya kemudian. ”Aku menjauhi mereka.” Kudengarkan setiap katanya dengan saksama, ”Karena kau.”
Kepada anakku, murid-muridku, mahasiswaku, kuajarkan kesantunan dan budi pekerti, adalah tak berhati mempersetankan kalimatnya dalam suasana semacam ini. Aku takut membuat hatinya mengecil, mengerut, menciut. Kutepuk pundaknya. ”Adrian,” kutatap matanya. Nadaku tak berbeda dari saat-saat wajah keruhnya semasa SMA merajuk minta ditanya. ”Cerita sama Mama, ada masalah apa?”
Tak kusangka, berpendar darinya sorot kecewa. ”Mungkin ini aneh, buatmu.” Digesernya bangku kayu dan duduk sebelahku. ”Tapi aku tidak punya cara yang lebih baik untuk menyampaikannya.”
Lalu dari mulutnya tersusun narasi, sinopsis yang tidak terlalu rapi. Deras dan berlompatan seperti percikan hujan di atas genangan. Aku tak tahu bagaimana mulanya, aku sudah berusaha melawannya, mencoba jatuh cinta kepada gadis lain dengan berbagai cara, tapi akhirnya aku toh tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku jatuh cinta kepadamu. Bahunya yang dulu kerempeng kini telah melebar dan pejal, lengannya yang dulu sebatang lidi telah mengembang seakan bisepnya ditaburi serbuk ragi, menunduk ia sampai wajahnya terbenam. ”Maaf, Sita. Maafkan aku.”
Perlu sementara waktu bagiku untuk memahami. Di kebun belakang itu pada hari-hari berikutnya aku menginterogasi diri, apa yang telah kuperbuat selama ini? Apa salahku berperilaku? Adrian tak pernah datang lagi sejak peristiwa pagi itu. Entah dia menganggapnya sebagai suatu kekeliruan ataukah dia terlalu malu. Ibunya sesekali bertandang membawakanku roti buatannya sendiri. Selang sebelas bulan, lewat surel ia berkabar sedang berada di New York. Lamarannya diterima PBB. Lembaga itu memberinya kontrak panjang di divisi logistik setelah masa percobaan menyiapkan perbekalan pasukan misi perdamaian di Afghanistan dinilai baik. Adrian tak pernah membicarakan lagi perasaannya, tak lagi menyinggung soal hatinya. Hanya sejak pertama sampai e-mail terakhir yang kuterima, sebagai pembuka selalu dituliskannya: Dear Sita.
Di kebun belakang selepas siang biasanya aku menulis balasan, kuceritakan tentang kepindahan Diko dan Putri ke Papua, anak-anak mereka— cucu-cucuku yang lucu-lucu, tentang mosaik batu kali pengganti paving stone yang kutambahkan di kebun belakang, di jalan setapak menuju empang, tentang hari-hariku menjelang pensiun. Subuh tadi, Adrian menelepon akan pulang bulan depan. Dengan Diko ia bersepakat akan merayakan ulang tahunku dengan pesta kebun, seperti dulu.
Di kebun belakangku akan kembali ada pesta! Aku tertawa, aku tahu alasan sesungguhnya. Dari Diko kudapat berita ia akan datang bersama calon istrinya seorang mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pascasarjananya di Amerika. Entah mengapa, di dadaku terselip perasaan asing selain yang telah kukenali sebagai lega. Dan satu bulan adalah waktu yang sangat singkat. Tahu-tahu kebun belakangku telah penuh bunga.
”Apa kabar, Sita?” Adrian menunduk. Bibirnya di punggung tanganku yang mulai kisut. Kuusap rambutnya, perlahan dan serta-merta dibawanya telapakku ke pipinya, hangat.
”Diko baru besok akan tiba,” kataku.
”Aku datang terlalu cepat?” suaranya telah bertambah timbre, lebih berwibawa. Dan aku tetaplah ibu yang bijaksana. ”Kau datang tepat waktu. Lasagnanya sudah matang.”
Kutirukan isi telepon Putri, hujan badai, cuaca buruk, penerbangan dari Jayapura semua ditunda.
Adrian lalu bercerita tentang berbagai hal, seperti sinterklas menuang hadiah Natal dari buntelan.
”Berapa umurmu?” tanyaku ketika ia mulai nampak kelelahan.
”Seratus tahun,” jawabnya asal. ”Setua apa seharusnya seorang pria bisa mempersunting seorang gadis?”
Aku tertawa. ”Entahlah, aku bukan seorang gadis.”
Matanya membening, seperti berlapis kaca. Diko pasti sudah memberi tahunya, seperti Mas Amal, rupanya kanker menggerogotiku juga.
”Stadium empat,” kataku menghiburnya. ”Tapi aku tidak akan mati.”
”Memang tidak,” jawabnya tangkas. ”Tidak sebelum kau jadi istriku.”
”New York penuh wanita cantik, bukan?”
”Aku ke New York untuk bekerja.”
”Adrian, apakah aku harus memilihkan pengantinmu?”
”Jangan cerewet. Dokter bilang kau harus banyak istirahat.”
”Kapan kau kembali ke New York?”
”Juni mungkin, atau Juli. Aku memperpanjang cuti.”
”Apakah aku akan mati secepat itu?”
”Apakah kau berencana mati sebelum aku?”
”Kau sakit apa?”
”Aku tidak sakit. Tapi aku bisa mati juga sewaktu-waktu.”
Aku mendengar Adrian menyebut nama Ailin. Seorang gadis yang bersedia menerima segala kekurangan dan kelebihannya, mengagumi kecerdasannya dan membantunya menertawakan kebodohan-kebodohannya. Seorang gadis yang memeluknya saat senang maupun sedih. ”Sita, aku mengkhianatimu.”
”Kau akan beristri, bukan berselingkuh.”
”Kau mau aku mengenalkannya kepadamu?”
”Aku lagi jelek.”
”Kau selalu cantik.”
”Tapi aku belum mandi....”
”Baiklah, nanti saja setelah kau siap ditemui.”
Adrian membetulkan letak selimutku. Di kursi goyang panjang yang dihadapkan Pak Us ke arah empang itu aku biasa berbaring sepulang kemoterapi. ”Danau ini, dan kau,” kukatakan kepada Adrian, ”adalah kado ulang tahun terindah untukku.” Jarak kami begitu dekat hingga kupikir aku sedang berbisik. Kulihat wajah Mas Amal yang tersenyum di wajahnya.
Bersandar pada satu sisi gebyok yang menghubungkan ruang duduk dengan kebun belakang, Ailin memandangi seluruh sekuen. Hari itu pertama kali setelah lima tahun mengenal ia melihat pancaran yang berbeda di mata kekasihnya, seperti pelangi, cerah di antara hujan yang belum sepenuhnya reda.
Ailin tidak mendekat, melihati saja dua manusia itu bertatapan, saling menggenggam. Daun-daun Heliconia bergesekan tanpa suara. Di antara Golden Shower yang berjuluran, sekelopak anggrek hitam mengembang lambat-lambat. Angin tenang, kurang dari satu jam lagi sunset show. Adrian pernah bercerita saat-saat menjelang matahari terbenam adalah saat-saat yang paling dinikmatinya setiap menghabiskan waktu di kebun belakang rumah Diko, sejak pertama mereka saling kenal, bahkan sampai bertahun-tahun sesudah sahabatnya itu direnggut kanker limpa ketika mereka sama-sama masih di bangku sekolah dasar kelas lima.
Di depan kolam ikan yang di kanan kirinya terdapat nisan-nisan pualam, Adrian biasa berbaring tanpa alas di atas hamparan rumput gajah, merasai setiap helai rambutnya lembut dibelai, sembari mendengarkan roman-roman romantis yang seakan tak kunjung habis dari Sita, pacar pertamanya. Ailin membiarkan buliran air dari matanya bergelindingan tak terseka. Di kaki kursi goyang yang terus melambat ayunnya itu, Adrian bersimpuh, tersedu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar