Jujur Prananto
Mestinya betul yang disebutkan dalam kamus bahasa Indonesia, bahwa basa-basi mengandung pengertian adat sopan-santun atau pun tata-krama pergaulan, yang pastinya memiliki konotasi maupun denotasi yang serba positif. Bukankah kata-kata sopan, santun, pergaulan yang tertata, memang sulit mengarahkan pikiran kita pada sesuatu yang negatif? Mestinya memang begitu.
Namun bagi Jumardi,formula dua kata ituternyata bermakna sebaliknya.Saat masuk ke telinga dia, yang lebih nyaring terdengar bukan kata basa-nya, tapi justru basi-nya, yang sungguh-sungguh mencitrakan sesuatu yang serba buruk .Nasi basi, sayur basi, susu basi… tak ada alamat yang lebih tepat bagi zat-zat itu selain dikirim ke dalam tong sampah.Lebih-lebih lagi: ucapan basi!
”Aku nggak mau datang!” seru Jumardi pada Ratih, istrinya, yang sudah selesai mandi dan siap berdandan. ”Aku sudah memutuskan untuk tidak mau lagi memenuhi undangan bu Siska buat datang ke acara-acara di rumah dia! Apalagi kalau jelas-jelas itu acara keluarga.”
”Kenapa???”
”Aku sudah muak dengar omongan basa-basi!”
Bu Siska, atasan Jumardi, direktur utama BUMN tempat Jumardi berkarier, memang gemar menyelenggarakan acara kumpul-kumpul di rumahnya yang megah di bilangan Jakarta Selatan. Sekali dalam sebulan sudah pasti ada arisan bagi para pejabat eselon dua dan satu. Di sampingitu banyak pertemuan tidak rutin seperti pesta ulang-tahun enam putra-putri dan empat cucu bu Siska, seperti yang diselenggarakan malam ini.
”Kamu ingat pesta ulang tahun anak keduanya bulan lalu? Ada cucunya yang main piano, kan? Nah menurut kamumain pianonya bagus apa nggak?”
”Susah dong menilai bagus nggak-nya. Kan masih kecil.”
”Permainan piano nggak ada hubungannya dengan umur pemainnya. Kamu nilai secara obyektif saja: bagus nggak permainan piano cucu bu Siska?”
”Yaaaa…. memang kelihatannya belum bisa main.”
”Persis!Tapi apa komentar teman-teman waktu itu? Duuuh, pinter banget… Cucu ibu hebat sekali…. Ntar kalau udah gede bikin konser tunggal deh…. Halahh.”
”Ya masa bilang ’cucu ibu belum bisa main’. Nggak mungkinlah.”
”Terus waktu bu Siska cerita soal anak SMA-nya yang masuk ranking sepuluh besar. Semua pada komentar,’Oh pinter yaaa…. Hebat ya….’ Hebat apanya??? Kalau jadi juara umum itubaru hebat!”
”Memang kita harus ngasih komentar gimana kalau bu Siska bercerita penuh rasa bangga? Masa kita diam saja.”
”Itu lebih bagus.”
”Tapi tidak pantas.”
”Jadi demi kepantasan kita harus berbohong? Membohongi bu Siska, membohongi anaknya, cucunya, membohongi diri kita sendiri….”
”Jangan berpikir sejauh itulah.”
“Kamu cuma sebulan sekali ketemu dia. Aku tiap hari kerja! Hampir tiap hari aku mendengar orang-orang berbasa-basi di hadapan bu Siska.”
”Kenapa di kantor masih harus berbasa-basi juga?”
”Kamu tahu apa yang terjadi setiap meeting sama bu Siska? Minimal dua puluh menit pertama akan habis sia-sia buat menyimak dia bercerita segala rupa tentang dirinya. Tentang tasnya yang dia beli di Paris, tentang pizza paling enak yang pernah dia makan di Milan, tentang wajahnya yang baru dirawat di Singapore….. Dan para pendengarnya terpaksa mengangguk-angguk seolah penuh rasa kagum, padahal dalam hati pada menjerit: emang gue pikirin!”
”Jadi serius nih nggak mau datang ke rumah bu Siska?”
”Nggak!”
***
Keesokan harinya Jumardi dihubungi sekretaris bu Siska yang memintanya agar segera menghadap ”ibu”. Jumardi sempat menduga panggilan ini berkaitan dengan ketidakhadirannya pada pesta ulang tahun anak bu Siska semalam, tapi lalu dibantahnya sendiri dengan berucap dalam hati, ”Kalau memang benar begitu berarti kebangetan!”
Bu Siska menyambut pemunculan Jumardi dengan senyum lebar sambil menyodorkan sekotak cokelat produksi Swiss. ”Silakan dicoba. Ini oleh-oleh dari Ninda, anak saya yang kuliah di Milan. Liburan summer tahun ini dia lagi malas ambil short course. Kangen sama siomay Bandung, katanya.”
Jumardi mengangguk-angguk mengiyakan sambilmembuka bungkus cokelat dan mencicipinya. ”Enak, bu.”
”Saya ingat pertama makan cokelat merek inipas saya sama bapak berdua berlibur keliling Eropa lima belas tahun yang lalu.”
”Mulai deh….”, ucap Jumardi dalam hati. Untunglah dugaan Jumardi kali ini meleset. Pembicaraan tentang Eropa hanya berlangsung kurang dari sepuluh menit, dan setelah itu—alhamdulillah—bu Siska sendiri membelokkan subyek pembicaraan.
”Dik Jumardi dari Yogyakarta ya?”
”Lebih tepatnya dari Kabupaten Gunung Kidul.”
”Waktu SMA dulu tiap harike sekolah dari dusun ke kota naik sepeda ya?”
Jumardi terperanjat.”Ibu tahu dari mana?”
”Kemarin saya ketemu dengan pak Mukhtar, asisten menteri. Katanya satu sekolah sama dik Jumardi di SMA.Dulu tinggalnya di Kotagede.”
”Oooh… kenal sekali, bu.”
”Waaah saya bangga sekali punya direktur muda seperti Anda. Sejak awal saya sudah melihat Anda ini memiliki kegigihan dan ketahanan mental di atas rata-rata. Rupanya sudah terlatih sejak usia dini.”
Jumardi jadi tersipu.
”Gigih, bermental kuat, punya rasa percaya diri yang tinggi, dan…. ini yang nampaknya menjadi ciri paling khas dik Jumardi: tidak suka basa-basi.”
Jumardi terperanjat untuk kedua kalinya. Ia terpana sekaligus bertanya-tanya, apakah pembicaraan ini ujung-ujungnya akan bermuara ke masalah pesta semalam.
”Betul, dik?”
Jumardi tergagap-gagap. ”Betul apanya, bu?”
”Kalau Anda tidak suka basa-basi?”
”Eeee… sepertinya memang begitu, bu.”
”Berarti pilihan saya tidak salah mengusulkan ke pak Menteri agar nantinya Anda dipromosikan mengisi posisi direktur pengawasan, sebuah jabatan yang menurut saya paling pas untuk Anda. Bagaimana menurut Anda sendiri?”
”Eeee…. atas nama loyalitas pada perusahaan, saya akan menerima penugasan apa pun yang diberikan ke saya.”
”Itu jawaban basa-basi. Tolong dik Jumardi jawab yang jujur!”
”Saya bersedia, bu.”
***
SEBAGAI direktur pengawasan, Jumardi harus makin sering bertemu dengan bu Siska.Bertemu dalam rapat-rapat direksi maupun pertemuan empat mata di ruang kerjanya. Celakanya, dengan begitu ia harus makin sering menyimak ocehan bu Siska tentang segala hal yang bersifat pribadi. Dan otomatis ia harus makin sering pula berbasa-basi.
”Sabar, bang,” Ratih selalu menasihati.”Aku yakin kamu bisa mengatasi masalah yang sebetulnya sederhana ini.”
”Apanya yang sederhana? Kamu harus tahu apa yang terjadi kalau aku sendirian menghadap bu Siska di ruang kerjanya. Pernah terjadi dia tiba-tiba masuk ke toilet dan kemudian keluar mengenakan baju baru model kimono yang konon dia beli di Tokyo. Tolong kamu bayangkan:bu Siska dengan berat badan hampir seratus kilo mengenakan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis Jepang yang super-langsing, dengan nada sangat serius bertanya, ’Bagus kan, saya pakai baju ini?’ Hampir saja aku jawab, ’Nggak, bu. Bajunya memang bagus banget, tapi sama-sekali nggak cocok buat ibu!’ ”Untung aku ingat anak-anak kita masih kecil, masih perlu banyak biaya buat menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi. Jadi dengan sangat terpaksa aku jawab ’Bagus, bu’.
***
Begitulah dengan gaji yang naik hampir dua kali lipat, berat badan Jumardi justru berangsur turun akibat stres berat. Sampai-sampai suatu hari dia membanting smartphone-nya hingga berantakan.
”Kenapa lagi, bang?? Ada apa???”
Jumardi pun bercerita, sudah hampir sebulan yang lalu bu Siska mengundang semua direktur, manajer dan para staf ahli bergabung di chatting group Whatsapp yang dia buat. Bu Siska berharap dengan chatting group bisa terjalin komunikasi yang lebih cair di antara mereka. ”Untuk mengimbangi suasana kerja yang serba formal dan melelahkan, kita perlu mewujudkan suasana akrab dan penuh kekeluargaan di antara kita. Kalau selama ini situasi itu hanya bisa terwujud lewat outing keluar kota yang hanya terselenggara setahun sekali, lewat chatting group kita bisa tiap hari mewujudkannya.”
Apa yang kemudian terjadi? Tiap pagi para anggota grup membaca ucapan ”Selamat pagi” dari bu Siska, dan semuanya menjawab ”Selamat pagi” pula. Berikutnya muncul kiriman foto hidangan sarapan di rumah bu Siska, atau snack dan secangkir minuman panas, yang akan direspons dengan munculnya berbagai komentar dari para anggota grup: Sedaaap… Enak sekali, bu…. Delicious…. dan semacamnya. Setelah itu kiriman foto apa saja dari bu Siska bisa muncul kapan saja: suvenir kincir angin dari anak waktu berlibur ke Belanda, gaun ”murah banget” yang baru dibeli di bazaar di sebuah mal, lengkap dengan label harga Rp 600.000, sampai lembar ulangan matematika sang cucu yang mendapat nilai sembilan. (Yang terakhir ini menuai banyak komentar, ”Congrats, bu! Selamat!” , ”Cucu ibu hebat sekali…..”, ”Pintar seperti eyangnya…” ”Calon juara”… dan ucapan sanjungan lainnya).
”Semuanya cuma basa-basi!!!” seru Jumardi dengan suara menggigil. Tapi yang membuatnya paling gusar ialah ketika bu Siska masuk rumah-sakit akibat kelelahan setelah beberapa hari blusukan ke kantor-kantor cabang di beberapa kota. Puluhan ucapan pun membanjiri chatting group. ”Kami sekeluarga senantiasa berdoa, semoga Tuhan segera memberikan kesembuhan bagi ibu…” berikut ucapan-ucapan serupa yang bernada penuh simpati.
”Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?” tanya Ratih. ”Mendoakan orang yang sakit kan bagus.”
”Bukan cuma bagus, tapi harus. Masalahnya, apakah yang mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani? Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Siska itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah, di masjid, di gereja, di wihara atau di mana pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan kata-kata di keyboard smartphone dan memencet tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!”
”Jangan suka curiga….”
”Mereka sendiri yang bicara.”
Rupanya, teman-teman sekantor Jumardi—yang sebelumnya berlomba-lomba mengirimkan ucapan doa,baru saja pada mengajaknya hangout ke kafe tertentu ”mumpung bu Siska tidak ada” dan pada berharap”mudah-mudahan dokter menyarankan bu Siska untuk beristirahat lama agar kita bisa beristirahat pula mendengarkan ocehan-ocehannya”.
Setelah kekesalannya mereda, Jumari merakit smartphone-nya yang berantakan, menghidupkannya lagi dan menjalankan prosedur leave group.
***
”KENAPA dik Jumardi keluar dari grup?” tanya bu Siska, pada hari pertama ia masuk kantor setelah beberapa hari dirawat di rumah-sakit.
”Saya tidak tahan lagi terlalu banyak membaca ucapan basa-basi.”
”Ucapan mana yang Anda anggap basa-basi?”
Awalnya Jumardi terdiam, tapi akhirnya memutuskan untuk berterus-terang, bahwa segala puja-puji dan doa terhadap bu Siska dan keluarganya itu semuanya basa-basi semata. Lama bu Siska terdiam, lalu memejamkan matanya yang membasah.
Sebulan kemudian Jumardi mendapat tugas khusus untuk merintis pendirian kantor cabang baru di Kabupaten Boven Digul, Papua. Jumardi menolak tugas itu dan mengajukan permohonan pengunduran diri.Bu Siska memaklumi dan dengan berat hati melepas kepergian Jumardi.
”Anda orang hebat.Tapi sepertinya kurang cocok untuk bekerja di Indonesia.”
Berbekal surat referensi yang diberikan perusahaan, Jumardi diterima bekerja di sebuah oil company di Kanada. Kariernya melesat pesat dan dihargai sejajar dengan tenaga ahli lokal, dan bahkan kemudian menempati jabatan tertentu yang sangat strategis. Sekian tahun kemudian ia ditugaskan sebagai wakil perusahaan untuk merintis kemungkinan pengembangan investasi di Indonesia.
”Saya yakin misi Anda akan berhasil,” kata pemimpin perusahaan.”Anda harus bertemu dengan Menteri Muda Urusan Penanaman Modal Asing yang baru diangkat dan dilantik oleh presiden. Menurut info yang saya terima, menteri baru ini kenal baik dengan Anda.”
”Maaf saya tidak sempat mengikuti perkembangan berita politik di Indonesia. Siapa nama menteri itu?”
”Namanya Mrs. Siska Indrayati”.
***
Bu Siska menerima kedatangan Jumardi di ruang kerjanya, menyambutnya dengan senyum lebar dan jabatan tangan yang sangat erat.
”Dik Jumardi hebat sekali. Sebagai mantan atasan Anda saya merasa sangat berbangga.”
”Terima kasih, bu.”
Jumardi pun duduk dan mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang dihiasi tujuh buah lukisan. ”Ibu sekarang jadi penggemar lukisan, rupanya.”
”Bagaimana menurut Anda lukisan-lukisan koleksi saya ini?”
Jumardi terdiam sesaat dan mengamati satu demi satu. Sebagai orang awam di bidang seni Jumardi merasa bahwa enam lukisan di dinding kiri dan kanan terkesan ’matang’. Sayang justru satu lukisan yang ditempatkan langsung berhadapan dengan tempat duduk bu Siska terkesan acak-acakan.
”Enam yang ini menurut saya bagus.”
”Yang satu itu?”
Jumardi terdiam sesaat untuk menyusun kata-kata yang tepat. ”Eeee….”
”Menurut saya yang satu itu yang paling istimewa, makanya saya tempatkan terpisah dengan yang lain,” potong bu Siska, seolah tak sabar menanti penilaian Jumardi. ”Anda kenal kok dengan pelukisnya.”
”Siapa, bu?”
”Rayhan, anak saya. Setelah lulus Senirupa ITB dia ambil S2 di Perancis. Saya sendiri tidak menyangka dia punya bakat seni yang luar biasa. Lukisannya bagus sekali dik, ya.”
Jumardi menelan ludah. Tak kunjung menimpali ucapan bu Siska.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar