Minggu, 19 Februari 2017

Puisi "Joko Pinurbo"

IBU YANG TABAH
Joko Pinurbo

Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.

Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.

Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”

Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya berulang-ulang.

Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”

Puisi "Di Ujung Dago"

DI UJUNG DAGO
Acep Zamzam Noor

Sunyi mengalunkan lagu
Pun segala jemu. Semilir angin mengurapi rabu
Ketika langkahku kehilangan tuju
Di antara pohon-pohon dan udara beku

Kabut mempersempit ruang
Memadatkan waktu. Kenapa aku
Kenapa masih menunggu
Kenapa masih percaya padamu

Sedang ruang
Tak mengenal waktu
Sedang waktu tak mengenal ruang
Ruang dan waktu tak mengenal rindu

Puisi "Hari Pun Tiba"

HARI PUN TIBA
Sapardi Djoko Damono

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat

Puisi "Kata"

KATA
Subagio Sastro Wardojo

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa

(Daerah Perbatasan, 1982: 61)

Puisi "Sajak Peperangan Abimanyu"

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU
W.S Rendra
(Untuk puteraku, Isaias Sadewa)

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
untuk menanam benih
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- dari zaman ke zaman

Puisi "Idul Fitri"

IDUL FITRI
Soetardji Calzoum Bachri


Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya


Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta


Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa


O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia


Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia


O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia


Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana


Puisi "Membaca Tanda-Tanda"

MEMBACA TANDA-TANDA
Taufik Ismail
                                                                                    
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas

tapi kita kini mulai merindukannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya

Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pergi hari

Hutan kehilangan ranting

Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru


Kita saksikan

Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda

Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah

Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda


Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan

akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas

tapi kini kami mulai merindukannya

Puisi "Cintaku Jauh di Pulau"

CINTAKU JAUH DI PULAU
Chairil Anwar

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

Puisi "Teratai"

TERATAI
Sanusi Pane

Dalam kebun ditanah airku,
Tumbuh sekuntum bunga teratai,
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun bersemi laksmi mengarang,
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkaupun turut menjaga Zaman.


Puisi "Indonesia Tumpah Darahku"

INDONESIA TUMPAH DARAHKU
Muhammad Yamin

Bersatu kita teguh
Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya

Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku

Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di alam nan lapang

Tumpah darah Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia

Cerpen "Mereka Tong Tak Mungkin Menjaring Malaikat"


Danarto

Akulah Jibril, malaikat yang suka membagi bagikan wahyu. Aku suka berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon bergoyang: itulah aku; yang sarat beban wahyu, yang dipercayakan Tuhan ke pundakku. Sering wahyu itu aku naikkan seperti layang-layang, sampai jauh tinggi di awan, dengan seutas benang yang menghubungkannya; sementara itu langkahku melentur lentur melayang di antara batang pisang dan mangga.

Akulah Jibril, malaikat yang telah membagi bagikan wahyu kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Muhammad, Nabi Isa dan nabi-nabi yang lain, yang kedatanganku senantiasa ditandai gemerisiknya angin di antara pepohonan. atau padang pasir.

Wahyu adalah kalimat kalimat yang berat, namun ringan jinjingannya. Itulah, makanya telah kunaikkan ia sebagai layang layang ke bawah, manakala kulihat ada anak yang sulit berpikir, pada kepalanya, ya pada kepalanya, maka kagetlah ia sambil meraba kepalanya, ia menengok-nengok ke atas. Kemudian. anak itu akan terbuka kembali pikirannya, sehingga bisa menjawab soal-soal di kelas nantinya.

Akulah Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya sedang mampat pikirannya, maka kutukikkan layang-layangku seperti hendak menyerbu layang layang yang lain, tepat di tengah atap itu: brag-brag kada brag beberapa genting kuperintahkan jatuh, tentu saja kubikin tidak mengenai mereka, melainkan kepingan-kepingan itu biarlah jatuh di lantai saja. Mereka jadi terkejut, semuanya menengok ke atas yang tanpa langit-langit itu, hingga lubang yang menganga itu menghantarkan sinar matahari ke dalam. Setelah itu kukirimkan hujan khusus lewat lubang atap itu. Mereka bubar keluar.

Di halaman sekolah guru dan murid-murid itu terheran heran memandang ke langit. Bagaimana mungkin ada hujan setempat yang begitu kecil, demikian mereka saling berkata, yang semuanya kusambut dengan tersenyum saja. Yang menyenangkan adalah pikiran guru dan murid-murid itu  menjadi segar dan kemudian mereka ramai-ramai belajar di sebuah bukit yang rimbun di seberang halaman sekolah. Sebenarnya itulah yang kukehendaki. Mengapa mesti belajar di dalam kelas saja? Apakah padang rumput yang luas itu bukan kelas?

Ketika tukang kebun yang diberi tahu untuk mengganti genting yang pecah itu datang ke dalam kelas, ia hanya tertegun saja: “Mana genting yang pecah yang harus kuganti? Mana lantai yang kotor yang harus kusapu?” begitu gerutunya. Tentu saja ia bergumam terus, sebab memang tidak ada sesuatu pun yang tidak beres di dalam kelas itu. Segalanya baik-baik saja, sebab ketika mereka berbondong-bondong ke bukit, buru-buru aku ganti genting yang pecah itu, dan aku sapu lantai yang kotor oleh kepingan-kepingan itu.

Ketika mereka kembali ke atas mau berkemas-kemas pulang, mereka juga melihat­lihat sekelilingnya dan tentu saja mereka mengira tukang kebun yang mengerjakannya. Guru itu menghampiri tukang kebun:

        “Cepat juga babak bekerja.”

        “Ala bisa karena biasa.”


Begitu jawab tukang kebun yang suka berpantun dan berperibahasa itu. Sebuah jawaban sambil lalu, hanya untuk mempercepat pembicaraan, meskipun di sela-sela ucapannya itu ada bundelan keheranan yang makin bertambah-tambah saja. Bagi saya tentu saja itu sebuah jawaban yang bagus; maka kubisikkan ke telinganya;

“Itu jawaban yang bagus, pak,” yang membuat ia terkejut dan menengok sekeliling mencari siapa gerangan yang bersuara cuma, rupa tidak ada. Tukang kebun itu buru-buru menghindar.

Akulah Jibril, yang angin adalah aku, yang embun adalah aku, yang asap adalah aku, yang gemerisik adalah aku, yang menghantar panas dan dingin. Aku mengirimkan kesejukan, pikiran segar yang mengajak giat belajar. Akulah yang menyodorkan keheranan sekaligus jawaban. Aku di kebun rimbun, aku di padang pasir, aku di laut,  aku di gunung, aku di udara, kukirimkan layang-layangku kepadamu, kepada kalian. Di waktu kalian giat belajar, sebenarnya aku di sisimu, benar-benar di sisimu, sekarang ini juga. Akulah yang mengelus lidah anak-anak kelas nol besar, supaya tidak kelu waktu membaca dan menyanyi.

Akulah Jibril, yang pada suatu malam mendatangi tukang kebun itu dalam mimpi. Kukatakan kepadanya bahwa aku ingin bermain dengan anak-anak semuanya. Ketika ia bangun kira kira jam tiga malam, ia termangu-mangu duduk di tempat tidur. Istrinya acuh tak acuh melihat dia, sambil menggeliat mem-balikkan tubuhnya dan tidur lagi. Sementara tiga orang anaknya lelap sekali.

Pagi, harinya ia menemui guru sekolah dan mengatakan bahwa Jibrillah yang memecahkan genting dan menggantinya kemarin dan menggantinya sendiri. Guru itu mengira tukang kebun ini sedang mengigau.

Lalu siang hari ia pergi ke bukit, membikin jaring dari sabut kelapa yang dipilinnya kecil-kecil merupakan tali-tali panjang. Tentu saja aku diam-diam membantunya, yaitu mencarikan sabut kelapa di sana-sini. Selama satu minggu siang malam jaring itu dikerjakannya. Sebagai imbalannya, tanaman ubi dan singkongnya kutiup menjadi besar-besar. Pada hari kedelapan dipasanglah jaring itu di bukit. Ketika guru dan murid murid yang telah membiasakan belajar di alam terbuka melihat tukang kebun sendirian semuanya mendekat.

        “Jaring ini untuk, apa Pak?”

        “Untuk menjaring malaikat.”

        “Malaikat?”

        Ya. malaikat.”


        “Benar?”

        “Benar.”

        “Boleh kami bantu, pak?”

        “Boleh, boleh. Tentu saja. Malah setelah itu kalian akan saya ajak menunggu jaring ini.”

        “Kenapa mesti ditunggu?”

        “Sebentar lagi Jibril akan genteyongan terperangkap   jaring ini.”

        “Jangan berlebihan, Pak!”

      “Bicaraku tidak melebih-lebihkan. Apa adanya saja. Jika kalian percaya silakan. Tak percaya, silakan. Aku ajak kalian hari ini untuk bersenang-senang.”

        “Jika Jibril tertangkap apakah ia tak mampu melepaskan diri, sedang ia seorang malaikat?”

        “Tidak mungkin. Karena sayapnya akan kurenggut.”

        “Jadi dia punya sayap?”

      Guru itu cuma tersenyum saja: “Bapak sedang mimpi,” katanya lirih dan yang dijawab oleh tukang kebun itu: “Ini nyata.”

Setelah sekolah usai, semua anak ternyata punya minat terhadap usaha menjaring malaikat itu. Hanya guru itu saja yang terus pulang. Lalu mereka mengendap melingkari jaring itu.

Akulah Jibril yang angin, seketika terpancang jaring itu kuat-kuat, aku terus menubruknya. Tersangkutlah aku di dalamnya. Sayapku juga terjerat kukuh. Maka bergenteyongan-lah aku seperti sedang main ayun-ayunan. Mula-mula anak-anak itu terbengong-bengong menatapkan, seperti menatap burung dalam sangkar. Yang membuatku merasa aneh adalah ternyata mereka tidak takut kepadaku. Kini aku telah benar-benar ngejawantah.

Tiba-tiba bersoraklah semua anak-anak itu mengelilingiku. Mereka bernyanyi beramai ramai:
        Wahai Jibril!
        Yang suka nubruk-nubruk.
        Anda kemarin memecahkan genting kelas kami.
        Sekarang anda terjaring.
        Cobalah lari.
        Cobalah lari.

Begitu kalimat nyanyinya dan diulang ulangnya terus.

Akulah Jibril, yang kemudian merasa geli dan heran.

Mereka begitu saja bisa menciptakan nyanyian baru. Juga mereka memanggilku “Anda”, kenapa tidak ber”engkau” saja. Aku menjawab nyanyian mereka dengan nyanyian yang kuciptakan secara tiba-tiba juga:
        Wahai kamu
        Kamu toh tak mungkin
        menjaring malaikat.
        Wahai kamu
        Kamu toh tak mungkin
        menjaring angin.
        Akulah Jibril
        Akulah angin

Mereka kemudian bergandengan dan tetap melingkari terus. Nyanyi mereka tambah keras:
        Silakan lari
        Silakan lari

Aku menjawab:
        Jika jaring kukais
        Kalian pasti menangis

Mereka pun menjawab
        Silakan kais
        Silakan kais

…. dan mereka pun, terbahak-bahak melirikku.

Tukang kebun itu berteriak: “Tak kukira mimpiku jadi nyata.” Ia pun ikut menari-nari.

Akulah Jibril, yang saat ini benar benar-benar merasakan kegembiraan. Bermain dengan anak-anak memang jarang. Biasanya tugasku berat saja adanya. Tetapi akulah angin yang harus beredar terus, ke seluruh bumi. Ke semua tempat-tempat lapang, juga tempat-tempat yang tersembunyi.

Sementara mereka masih menari dan menyanyi terus, kutinggalkan mereka dan kuganti tubuhku dengan seonggok daun pisang kering. Sebelum benar-benar pergi aku ingin melihat mereka kaget. Setelah mereka melihat jaring itu kembali dan isi di dalamnya yang sebenarnya, mereka melongo dan satu-satu menangis.

Aku tersenyum pergi.

Akulah Jibril, akulah angin, akulah daun-daun kering, tak mungkin kutinggalkan mereka anak-anak manis, begitu saja tanpa memberinya apa-apa sebagai tanda kasih sayang.

Esok harinya, seluruh sekolah itu tercengang, ketika mereka melihat layang-layang yang kukaitkan semalam di atap tinggi dengan benang panjang sekali. Siapa saja boleh. membiarkan layang-layang itu sepanjang masa terkait di situ atau mengambilnya menjadi  miliknya. Terserah.

Cerpen "Legenda Wongasu"


Seno Gumira Ajidarma

Suatu ketika kelak, seorang tukang cerita akan menuturkan sebuah legenda, yang terbentuk karena masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang dahulu pernah ada, dan namanya adalah Indonesia. Negeri itu sudah pecah menjadi berpuluh-puluh negara kecil, yang syukurlah semuanya makmur, tetapi mereka masih disatukan oleh bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia, sebagai warisan masa lalu.Barangkali tukang cerita itu akan duduk di tepi jalan dan dikerumuni orang-orang, atau memasang sebuah tenda dan memasang bangku-bangku di dalamnya di sebuah pasar malam, atau juga menceritakannya melalui sebuah teater boneka, bisa boneka yang digerakkan tali, bisa boneka wayang golek, bisa juga wayang magnit yang digerakkan dari bawah lapisan kaca, dengan panggung yang luar biasa kecilnya. Untuk semua itu, ia akan menuliskan di sebuah papan hitam: Hari ini dan seterusnya “Legenda Wongasu”.
Berikut inilah legenda tersebut:

“Untung masih banyak pemakan anjing di Jakarta,” pikir Sukab setiap kali merenungkan kehidupannya. Sukab memang telah berhasil menyambung hidupnya berkat selera para pemakan anjing. Krisis moneter sudah memasuki tahun kelima, itu berarti sudah lima tahun Sukab menjadi pemburu anjing, mengincar anjing-anjing yang tidak terdaftar sebagai peliharaan manusia, memburu anjing-anjing tak berpening yang sedang lengah, dan tiada akan pernah mengira betapa nasibnya berakhir sebagai tongseng.

Semenjak di-PHK lima tahun yang lalu, dan menganggur lontang-lantung tanpa punya pekerjaan, Sukab terpaksa menjadi pemburu anjing supaya bisa bertahan hidup. Kemiskinan telah memojokkannya ke sebuah gubuk berlantai tanah di pinggir kali bersama lima anaknya, sementara istrinya terpaksa melacur di bawah jembatan, melayani sopir-sopir bajaj. Dulu ia begitu miskin, sehingga tidak mampu membeli potas, yang biasa diumpankan para pemburu anjing kepada anjing-anjing kurang pikir, sehingga membuat anjing-anjing itu menggelepar dengan mulut berbusa.

Masih terbayang di depan matanya, bagaimana ia mengelilingi kota sambil membawa karung kosong. Mengincar anjing yang sedang berkeliaran di jalanan, menerkamnya tiba-tiba seperti harimau menyergap rusa, langsung memasukkannya ke dalam karung dan membunuhnya dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini. Sukab tidak pernah peduli, apakah ia berada di tempat ramai atau tempat sepi. Tidak seorang pun akan menghalangi pekerjaannya, karena anjing yang tidak terdaftar boleh dibilang anjing liar, dan anjing liar seperti juga binatang-binatang di hutan yang tidak dilindungi, boleh diburu, dibinasakan, dan dimakan.

Apabila Sukab sudah mendapatkan seekor anjing di dalam karungnya, ia akan berjalan ke sebuah warung kaki lima di tepi rel kereta api, melemparkannya begitu saja ke depan pemilik warung sehingga menimbulkan suara berdebum. Pemilik warung akan memberinya sejumlah uang tanpa berkata-kata, dan Sukab akan menerima uangnya tanpa berkata-kata pula. Begitulah Sukab, yang tidak beralas kaki, bercelana pendek, dan hanya mengenakan kaus singlet yang dekil, menjadi pemburu anjing di Jakarta. Ia tidak menggunakan potas, tidak menggunakan tongkat penjerat berkawat, tapi menerkamnya seperti harimau menyergap rusa di dalam hutan.

Ia berjalan begitu saja di tengah kota, berjalan keluar-masuk kompleks perumahan, mengincar anjing-anjing yang lengah. Di kompleks perumahan semacam itu anjing-anjing dipelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Bukan hanya anjing-anjing itu diberi makanan yang mahal karena harus diimpor, atau diberi makan daging segar yang jumlahnya cukup untuk kenduri lima keluarga miskin, tapi juga dimandikan, diberi bantal untuk tidur, dan diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan setiap bulan sekali. Sukab sangat tidak bisa mengerti bagaimana anjing-anjing itu bisa begitu beruntung, sedangkan nasibnya tidak seberuntung anjing-anjing itu.

Namun, anjing tetaplah anjing. Ia tetap mempunyai naluri untuk mengendus-endus tempat sampah dan kencing di bawah tiang listrik. Apabila kesempatan terbuka, tiba-tiba saja mereka sudah berada di alam belantara dunia manusia. Di alam terbuka mereka terpesona oleh dunia, mondar-mandir ke sana kemari seperti kanak-kanak berlarian di taman bermain, dan di sanalah mereka menemui ajalnya. Diterkam dan dibinasakan oleh Sukab sang pemburu, untuk akhirnya digarap para pemasak tongseng.

“Sukab, jangan engkau pulang dengan tangan hampa, anak-anak menantimu dengan perut keroncongan, jangan kau buat aku terpaksa melacur lagi di bawah jembatan, hanya supaya mereka tidak mengais makanan dari tempat sampah,” kata istrinya dahulu.

Kepahitan karena istrinya melacur itulah yang membuat Sukab menjadi pemburu anjing. Hatinya tersobek-sobek memandang istrinya berdiri di ujung jembatan, tersenyum kepada sopir-sopir bajaj yang mangkal, lantas turun ke bawah jembatan bersama salah seorang yang pasti akan mendekatinya. Di bawah jembatan istrinya melayani para sopir bajaj di bawah tenda plastik, hanya dengan beralaskan kertas koran. Tenda plastik biru itu sebetulnya bukan sebuah tenda, hanya lembaran plastik yang disampirkan pada tali gantungan, dan keempat ujungnya ditindih dengan batu. Sukab yang berbadan tegap lemas tanpa daya setiap kali melihat istrinya turun melewati jalan setapak, menghilang ke bawah tenda.

“Inilah yang akan terjadi jika engkau tidak bisa mencari makan,” kata istrinya, ketika Sukab suatu ketika mempertanyakan kesetiaannya, “pertama, aku tidak sudi anak-anakku mati kelaparan; kedua, kamu toh tahu aku ini sebetulnya bukan istrimu.”

Perempuan itu memang ibu anak-anaknya, tapi mereka memang hanya tinggal bersama saja di gubug pinggir kali itu. Tidak ada cerita sehidup semati, surat nikah apalagi. Mereka masih bisa bertahan hidup ketika Sukab menjadi buruh pabrik sandal jepit. Meski tidak mampu menyekolahkan anak dan tidak bisa membelikan perempuan itu cincin kalung intan berlian rajabrana, kehidupan Sukab masih terhormat, pergi dan kembali seperti orang punya pekerjaan tetap. Ketika musim PHK tiba, Sukab tiada mengerti apa yang bisa dibuatnya. Kehidupannya sudah termesinkan sebagai buruh pabrik sandal jepit. Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri, nalurinya hanya mengarah kepada satu hal: berburu anjing.

Itulah riwayat singkat Sukab, sampai ia menjadi pemburu anjing. Kini ia mempunyai beberapa warung yang menjadi pelanggannya di Jakarta. Tangkapan Sukab disukai, karena ia piawai berburu di kompleks perumahan gedongan. Konon anjing peliharaan orang kaya lebih gemuk dan lebih enak dari anjing kampung yang berkeliaran. Tapi Sukab tidak pandang bulu. Ia berjalan, ia memperhatikan, dan ia mengincar. Anjing yang nalurinya tajam pun bisa dibuatnya terperdaya. Apa pun jenisnya, dari chihuahua sampai bulldog, dari anjing gembala Jerman sampai anjing kampung, seperti bisa disihirnya untuk mendekat, lantas tinggal dilumpuhkan, lagi-lagi dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Perburuan anjing itu menolong kehidupan Sukab. Perempuan yang disebut istrinya meski mereka tidak pernah menikah itu tak pernah pergi lagi ke bawah jembatan, melainkan memasak kepala anjing yang diberikan para pemilik warung kepada Sukab. Seperti juga ia melemparkan karung berisi anjing kepada pemilik warung sehingga menimbulkan bunyi berdebum, begitu pula ia melemparkan kepala anjing itu ke hadapan perempuan itu. Anak-anak mereka yang jumlahnya lima itu menjadi gemuk dan lincah, namun dari sinilah cerita baru dimulai.
***
SEPANJANG rel, tempat ia selalu membawa karung berisi anjing, anak-anak berteriak mengejeknya.

“Wongasu! Wongasu!”

Mula-mula Sukab tidak peduli, tapi kemudian perempuan yang disebut istrinya itu pun berkata kepadanya.

“Sukab! Mereka menyebut kita Wongasu!”

“Kenapa?”

“Katanya wajah kita mirip anjing.”

Mereka begitu miskin, sehingga tidak punya cermin. Jadi mereka hanya bisa saling memeriksa.

Betul juga. Mereka merasa wajah mereka sekarang mirip anjing.

“Anak-anak tidak lagi bermain dengan anak-anak tetangga, karena mereka semua mengejeknya sebagai Wongasu.”

Ia perhatikan, anak-anak mereka juga sudah mirip anjing. Perasaan Sukab remuk redam.

“Aduhai anak-anakku, kenapa mereka jadi begitu?” Sukab merenung sendirian. Kalaulah ini semacam karmapala karena perbuatannya sebagai pemburu anjing, mengapa hal semacam itu tidak menimpa para pemakan anjing saja? Bukankah perburuan anjing itu bisa berlangsung, hanya karena ada juga warung-warung penjual masakan anjing yang selalu penuh dengan pengunjung? Kenapa hanya dirinya yang menerima karmapala?

Orang-orang itu memakan anjing karena punya uang, begitu pikiran Sukab yang sederhana, sedangkan ia dan keluar-ganya memakan hanya kepalanya saja karena tidak punya uang. Sejumlah uang yang diterimanya dari para pemilik warung, yang mestinya cukup untuk membeli ikan asin dan nasi, biasa habis di lingkaran judi, tempat dahulu ia bertemu dengan perempuan itu-yang telanjur dicintainya setengah mati. Bukan berarti Sukab seorang penjudi, tapi ia juga punya impian untuk mengubah nasib secepat-cepatnya.

Namun kini mereka semua menjadi Wongasu.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan hidup,” kata Sukab.

Perempuan itu menangis. Wajahnya yang cantik lama-lama juga menjadi mirip anjing. Meski sudah tidak melacur, tentu saja ia tetap ingin kelihatan cantik. Begitu juga Sukab. Anak-anak mereka terkucil dan setiap kali berkeliaran menjadi bahan ejekan.

Sukab tetap menjalankan pekerjaannya, dan pekerjaannya memang menjadi semakin mudah. Bukan karena anjing-anjing itu melihat kepala Sukab semakin mirip dengan mereka, melainkan karena penciuman mereka yang tajam mencium bau tubuh Sukab yang rupa-rupanya sudah semakin berbau anjing. Mereka datang seperti menyerahkan diri kepada Sukab yang telah sempurna sebagai Wongasu. Kadang-kadang Sukab cukup membuka karung dan anjing itu memasuki karung itu dengan sukarela, seperti upacara pengorbanan diri, meski Sukab tetap akan mengakhiri hidup mereka, tentu saja dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Ia akan datang dari ujung rel memanggul karung berisi anjing, melemparkannya ke hadapan pemilik warung berdingklik di tepi rel sehingga menimbulkan bunyi berdebum, dan segera pergi lagi setelah menerima sejumlah uang.

Di belakangnya anak-anak kecil berteriak.

“Wongasu! Wongasu!”

Pada suatu hari, ketika ia kembali ke gubugnya di pinggir kali, seseorang berteriak kepadanya.

“Wongasu! Mereka mengangkut keluargamu!”

Rumah gubugnya porak poranda. Seorang tua berkata kepadanya bahwa penduduk mendatangkan petugas yang membawa kerangkeng beroda. Perempuan dan anak-anaknya ditangkap. Mereka dibawa pergi.

“Ke mana?”

“Entahlah, kamu tanyakan sendiri saja sana!”

Waktu Sukab berjalan di sepanjang tepi kali, ia mendengar mereka berbisik-bisik dari dalam gubug-gubug kardus.

“Awas! Wongasu lewat! Wongasu lewat!”

“Heran! Kenapa kepalanya bisa berubah menjadi kepala anjing?”

“Itulah karmapala seorang pembunuh anjing.”

“Tapi kita semua makan anjing, siapa yang mampu beli daging sapi dalam masa sekarang ini? Bukankah justru….”

“Husssss…..”

Di kantor polisi terdekat Sukab bertanya, apakah mereka tahu akan adanya pengerangkengan tiada semena-mena sebuah keluarga di tepi kali.

“Oh, itu. Bukan polisi yang mengangkut, tapi petugas tibum.”

“Apa mereka melanggar ketertiban umum?”

Polisi itu kemudian bercerita, bagaimana salah seorang anak Sukab tidak tahan lagi karena selalu dilempari batu, sehingga mengejar pelempar batu dan menggigitnya. Bapak anak yang digigit sampai berdarah-darah itu tidak bisa menerima, lantas mengerahkan pemukim pinggir kali untuk mengepung gubug mereka. Kejadian itu dilaporkan kepada petugas tibum yang tanpa bertanya ini itu segera mengangkut mereka sambil menggebukinya.

Diceritakan oleh polisi itu bagaimana perempuan dan kelima anaknya itu berhasil dimasukkan ke dalam kerangkeng, hanya setelah memberi perlawanan yang luar biasa.

“Mereka menyalak-nyalak dan berkaing-kaing seperti anjing,” kata polisi itu, seolah-olah tidak peduli bahwa wajah Sukab juga seperti anjing.

“Hati-hati lewat sana,” katanya lagi, “mereka juga bisa menangkap saudara.”

“Kenapa Bapak tidak mencegah mereka, perlakuan itu kan tidak manusiawi?”

Polisi itu malah membentak.

“Apa? Tidak manusiawi? Apa saudara pikir makhluk seperti itu namanya manusia?”

“Mereka juga manusia, seperti Bapak!”

“Tidak! Saya tidak sudi disamakan! Mereka itu lain! Saudara juga lain! Sebetulnya saya tidak bisa menyebut Anda sebagai Saudara. Huh! Saudara! Saudara dari mana? Lagi pula, Anda bisa bayar berapa?”

Sukab berlalu. Nalurinya yang entah datang dari mana serasa ingin menerkam dan merobek-robek polisi itu, tapi hati dan otaknya masih manusia. Ia berjalan di kaki lima tak tahu ke mana harus mencari keluarganya.

Setelah malam tiba, ia kembali ke pinggir kali dengan tangan hampa. Ia berjongkok di bekas gubugnya yang hancur, menangis, tapi suara yang keluar adalah lolongan anjing.

Hal ini membuat orang-orang di pinggir kali lagi-lagi gelisah. Lolongan di bawah cahaya bulan itu terasa mengerikan. Ketakutannya membuat mereka mendatangi Sukab yang masih melolong ke arah rembulan dengan memilukan. Mereka membawa segala macam senjata tajam.
***
“MEREKA membantai Sukab,” ujar tukang cerita itu, dan para pendengar menahan nafas.

“Dibantai bagaimana?”

“Ya dibantai, kalian pikir bagaimana caranya kalian membantai anjing?”

“Terus?”

“Mereka pulang membawa daging ke gubug masing-masing.”

“Terus?”

“Terus! Terus! Kalian pikir bagaimana caranya mendapat gizi dalam krisis ekonomi berkepanjangan?”

Ada yang menahan muntah, tapi masih penasaran dengan akhir ceritanya.

“Yang bener aje, masa’ Sukab dimakan?”

Tukang cerita itu tersenyum.

“Lho, itu tidak penting.”

Orang-orang yang mau pergi karena mengira cerita berakhir, berbalik lagi.

“Apa yang penting?”

“Esoknya, ketika matahari terbit, dan orang-orang bangun kesiangan karena makan terlalu kenyang dan mabuk-mabukan, terjadi suatu peristiwa di luar dugaan.”

“Apa yang terjadi?”

“Ketika terbangun mereka semua terkejut ketika saling memandang, mereka bangkit dan menyalak-nyalak, lari kian kemari sambil berkaing-kaing seperti anjing!”

“Haaaa?”

“Kepala mereka telah berubah menjadi kepala anjing!”

“Aaahhh!!!”

“Mereka semua telah berubah menjadi Wongasu!!”

Mulut tukang cerita membunyikan gamelan bertalu-talu sebagai tanda cerita berakhir, dan mulut para asistennya membunyikan suara lolongan anjing yang terasa begitu getir sebagai tangis perpisahan yang menyedihkan. Para penonton terlongong dengan lidah terjulur.

Di langit masih terlihat rembulan yang sama, dengan cahaya kebiru-biruan menyepuh daun yang masih juga selalu memesona.

Pertunjukan akhirnya benar-benar selesai, tukang cerita itu memasukkan kembali wayangnya ke dalam kotak. Para penonton yang semuanya berkepala anjing itu pulang ke rumah, dengan pengertian yang lebih baik tentang asal-usul mereka sendiri. Guk!

* Cirebon-Wangon-Jogja, Januari 2002.

* Pesan pengarang: Sayangilah anjing, sayangilah makhluk ciptaan Tuhan.

Cerpen "Paduan Suara"


Jujur Prananto

Sugeng benar-benar merasa masygul. Selama sekian tahun berkarier di bidang musik dan dunia tarik suara, baru kali ini ia menghadapi persoalan yang begitu meletihkan. Rasa-rasanya ia lebih senang dibebani pekerjaan memimpin produksi sebuah konser akbar yang melibatkan ribuan pemain sekalian, misal, daripada mengurus cuma beberapa orang, tapi harus berembel-embel perkara pelik yang tidak ada hubungannya dengan soal kesenian ini.

Ah! Awal kesalahan sebenarnya bersumber dari dia sendiri juga kenapa dulu mau menerima pekerjaan itu. Tapi, sudahlah, menyesali yang telah lewat tak akan pernah menyelesaikan masalah. Lagi pula siapa sih yang mau menolak honorarium delapan ratus ribu rupiah sebulan, tanpa kontrak yang mengikat, hanya untuk melatih sebuah paduan suara seminggu sekali?

“Kecuali kalau seumpama mau ada pergelaran, ya saya minta pengertian Dik Sugeng untuk meningkatkan frekuensi latihan. Bisa dua kali seminggu, atau kalau perlu malah tiap hari menjelang hari H-nya,” begitu penjelasan Ibu Gubernur waktu pertama kali memintanya menjadi koordinator sekaligus pelatih tunggal paduan Suara Pemda “Swara Budaya”.

“Bisa, Bu. Bisa saja.”

“Tentu saja nanti akan ada insentif, di samping uang transpor tetap diberikan untuk tiap kedatangan Dik Sugeng.”

“Terima kasih, Bu. Terima kasih sekali.”

“Bukan apa-apa, Dik Sugeng. Sayang kan, kalau potensi-potensi kesenian yang ada di lingkungan pemda mubazir begitu saja. Banyak lho, karyawan-karyawan kita yang diam-diam pintar menyanyi. Tapi itulah, beraninya, ya cuma di kamar mandi, sebab kalau menyanyi di kantor takut dicap indisipliner. Susah, kan?”

“Betul, Bu. Memang susah.”

“Makanya, bakat-bakat seperti itu harus kita himpun ke dalam satu wadah. Nah, wadah yang paling tepat saya pikir paduan suara itulah. Di samping menyalurkan bakat, lewat caranya sendiri paduan suara kan merupakan sarana latihan kedisplinan juga.”

“Persis, Bu.”

“Bandingkan saja dengan baris-berbaris. Seratus orang serentak mengikuti aba-aba belok kanan, tapi ada satu orang yang malah berbelok ke kiri, rusaklah itu barisan. Begitu pula paduan suara. Namanya saja paduan, ya harus terpadu. Seratus orang mulai menyanyi pada hitungan ketiga, tapi satu orang saja melakukan kesalahan dengan memulai pada hitungan kedua, kacaulah itu paduan.”

“Ya-ya-ya, pasti kacau.”

“Jadi, kegiatan paduan suara pada dasarnya ialah melatih kebersamaan secara benar. Dan kebersamaan yang benar adalah salah satu tujuan pelatihan disiplin itu sendiri. Artinya, kalau pemda menyisihkan sebagian dananya untuk keperluan ini sebetulnya tidak akan sia-sia, sebab secara tidak langsung paduan suara bisa menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia.”

* * *

Program latihan “Swara Budaya” benar-benar mulai dari tahap paling awal, ialah pemilihan anggota paduan itu sendiri. Untuk itu Sugeng harus menyeleksi ratusan karyawan-karyawati dan juga para pejabat di lingkungan pemda, ditambah dari kanwil berbagai departemen, berikut anggota keluarga, yang berminat menjadi anggota.

Dan memang, ternyata banyak sekali bakat-bakat terpendam di lingkungan yang boleh jadi dalam kesehariannya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan urusan kesenian itu. Walhasil, proses seleksi yang dilakukan secara maraton selama sebulan lebih itu secara mencengangkan menghasilkan sebuah kelompok yang unik sekaligus amat potensial.

Ada—misal—seorang karyawan di bagian penerimaan Pajak Pendapatan Daerah mengaku, waktu di SMP dulu pernah menjadi juara pertama menyanyi solo tingkat kabupaten. Juga seorang karyawati Kanwil Departemen Pertanian mengatakan pernah dikontrak oleh sebuah dealer organ Yamaha untuk menyanyi pada demonstrasi-demonstrasi penjualan produk tersebut di berbagai pusat perbelanjaan, sebelum dia diangkat menjadi pegawai negeri. Ada lagi seorang kepala bagian di Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi yang konon angker di kantor, ternyata bersuara bukan main merdu dan mengaku dirinya pernah menjadi pelatih vocal group karang taruna di kampungnya.

“Benar kan Dik Sugeng, apa yang saya katakan dulu?”

“Benar, Bu. Benar sekali.”

“Seleksi awal yang sudah Anda lakukan saya anggap berhasil.”

“Terima kasih.”

“Cuma…, kalau boleh saya kepingin memberi sedikit catatan.”

“Silakan, Bu.”

“Setelah saya bicarakan dengan anggota pengurus yang lain, jumlah anggota yang enam puluh ternyata dianggap terlalu besar.”

“Saya rasa tidak ada masalah, Bu. Angka enam puluh cuma untuk mempermudah dalam pembentukan kelompok. Tadinya saya membayangkan kelompok sopran, alto, tenor dan bas masing-masing lima belas orang. Tapi itu tidak mutlak. Seperti kelompok bas, misal, nantinya memang tidak akan sebanyak ini, sebab kelompok pria bersuara rendah kalau jumlahnya sama dengan kelompok-kelompok lain akan cenderung dominan.”

“Mungkin secara keseluruhan bisa dikurangi menjadi lima puluh, begitu?”

“Bisa, Bu. Bisa.”

“Nah, dalam pengurangan nanti, tolonglah dipikirkan juga faktor-faktor yang bagi di Sugeng mungkin tidak berarti, tapi bagi kami bisa menjadi…. Apa, ya? Dibilang ganjalan sebenarnya kurang tepat juga.”

“Maksud Ibu?”

“To the point sajalah, ya? Coba kita lihat daftar yang Anda buat. Nah, seperti Pak Yadi ini. Dia kan… pesuruh kantor. Saya dengar juga masih honorer. Bukan maksud saya mau membeda-bedakan status, lho, tapi saya berpikir untuk kepentingan dia juga. Maksud saya, setelah seharian bekerja secara fisik, apa dia masih punya sisa tenaga untuk tarik suara?”

Saat itu ada desir halus menyentuh perasaan Sugeng.

“Juga si Umi ini. Saya tahu suaranya memang bagus. Tapi suami dia juru ketik yang masih golongan I-a. Apa nantinya dia tidak kerepotan kalau harus bergaul dengan ibu-ibu yang lain? Dia masuk kelompok sopran, ya? Wah, di kelompok ini ada Bu Kun, lagi. Padahal Pak Kun suami Bu Kun itu kepala bagian di tempat kerja suami Umi. Artinya suami Umi itu bawahannya-bawahannya-bawahan Pak Kun. Kasihan Umi, kan, kalau harus berbincang-bincang dengan Bu Kun? Coba, mau ngomong apa dia nanti.”

Sugeng tak berkomentar apa-apa.

“Nah, kalau Pak Krisno ini jangan ditarik. Kasihan dia, dari dulu kepingin sekali ikut. Dik Sugeng memberi nilai terendah, ya? Memang sih, suaranya tidak bagus-bagus amat. Tapi biarlah. Lagi pula dia kasir pemda. Kalau ada urusan apa-apa bisa lancar.”

Sugeng mengangguk-anggukkan kepalanya, semata-mata karena tak tahu lagi perbuatan apa yang paling pantas dilakukannya selain itu.

“Oh, ya! Sebelum lupa saya mau titip. Nanti ada yang namanya Bu Monda. Belum masuk daftar, kan? Dia memang tidak ikut seleksi, tapi sebenarnya suaranya bagus sekali. Lima tahun yang lalu dia pernah masuk bintang radio.”

“Memperoleh nomor?”

“Nggak, sih…, tapi dari situ saya melihat keberanian dan semangat dia yang luar biasa. Untuk itu saya minta pada Dik Sugeng, tolong deh, sepupu Bapak itu dimasukkan.”

Begitulah, setelah melalui proses perampingan yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan jabatan, status, pangkat, pengaruh maupun hubungan kekerabatan, jumlah anggota Paduan Suara “Swara Budaya” sempat berkurang menjadi empat puluh delapan orang. Atas pertimbangan-pertimbangan yang sama pula, maka—kali ini setelah melalui proses “peninjauan kembali”—jumlah tersebut pada minggu pertama membengkak menjadi lima puluh delapan, dan selewat bulan kedua menjadi delapan puluh orang!

“Saya mohon Dik Sugeng bisa memahami perkembangan yang begitu dinamis ini,” demikian Ibu Gubernur berujar. “Menghadapi keadaan seperti itu kita harus pandai-pandai bersikap, dengan tetap mengingat, bahwa bagaimanapun kita ini oarng Timur. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan di kita masih tinggi. Maka ketentuan yang kita buat pun harus tegas tapi tetap manusiawi, tidak perlu menjadi kaku. Apalagi kalau cuma soal jumlah anggota. Yang penting kan kekompakannya. Nah, soal mengatur kekompakan ini kan sudah menjadi keahlian Dik Sugeng.”

Dan nyatanya sampai dengan tahap ini Sugeng masih sanggup membentuk formasi yang cukup kompak. Anggota-anggota yang memang bervokal kuat diperselang-selingkan sedemikian rupa dengan anggota-anggota titipan yang giliran harus menyanyi kadang harus ikut membuka mulut kadang tidak, dan yang waktu membuka mulut pun kadang bisa mengeluarkan suara kadang tidak.

“Nah, satu hal lagi. Kalau ini saya benar-benar cuma ingin membantu Dik Sugeng. Pergelaran perdana kita pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti ada lagu Hamba Menyanyi, kan?”

“Ya, Bu.”

“Ada bagian nyanyi tunggalnya?”

“Ada, Bu.”

“Sudah ditentukan solis-nya?”

“Baru saya seleksi.”

“Tidak makan waktu terlalu lama? Nanti tidak keburu, lho.”

“Sudah ada beberapa calon.”

“Kalau begitu biar si Eti sajalah.”

“Eti yang… banyak bekas jerawatnya?”

“Iya, itu anak saya.”

* * *

Bagaimana Sugeng tidak merasa masygul!

Selama ini Eti dia kenal sebagai anggota yang “lebih pantas menjadi pemain sepak bola saja daripada menyanyi.” Kualitas vokalnya di bawah standar, kecantikannya pun pas-pasan. Kalau distimulir secara khusus sebenarnya dia bisa bersuara lantang, tapi nada dasarnya selalu meyimpang dari intro. Kalaupun tidak menyimpang—ketika harus masuk dengan nada C, misal—maka nada C yang dinyanyikannya bisa satu oktaf lebih tinggi dari yang seharusnya, hingga terdengar melengking di luar kendali.

Dan ternyata anggota yang satu itu adalah putri Ibu Gubernur! Telah ditentukan harus menjadi solis pula!

Sempat terlintas dalam benak Sugeng untuk menghentikan semua ini. Bubar! Tapi apa kata orang nanti tentang dirinya? Tanggung jawabnya? Lagi pula kenyataannya ia sudah menerima bayaran lumayan besar. Atau dikembalikan saja uang itu? Ah, berat juga mengumpulkan lagi dua setengah juta rupiah lebih jumlah total honornya selama ini. Kalau toh uang itu masih ada, rasa-rasanya sayang pula melepasnya lagi.

Akhirnya Sugeng memutuskan untuk jalan terus. Tidak bisa tidak ini harus diselesaikan. Minimal sampai dengan pergelaran perdana pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti.

Tak urung ia menderita stres teramat berat. Semua ia berniat cuek, main tak peduli, tapi nyatanya tetap saja ia peduli dengan suara Eti yang tak kunjung beraturan itu.

Satu-satunya jalan ialah: latihan habis-habisan. Atas permintaannya sendiri—yang tentu saja sangat didukung oleh Ibu Gubernur—Sugeng menyelenggarakan les privat bagi Eti. Maka tiadalah hari yang berlalu tanpa latihan vokal. Di ruangan, di lapangan, di pantai, di tempat sunyi. Tak henti-henti. Hah! Hah! Hah! Hah! Do-re-mi-fa-sol-la-si-do do-si-la-sol-fa-mi-re-do!

Hasilnya?

Ternyata tak ada kemajuan. Sugeng pun pasrah. Kualitas pergelaran terbayang sudah. Paduan suara yang sebenarnya tidak terlalu buruk itu bakal kandas oleh suara solis yang serak-serak-pecah.

* * *

Menit-menit terakhir menjelang pergelaran Sugeng tak bisa bertahan lagi. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Dan persis giliran Paduan Suara “Swara Budaya” tampil di panggung, ia bersembunyi di kamar kecil. Samar-sama terdengar alunan lagu pertama… lagu kedua… Dan begitu masuk lagu Hamba Menyanyi, buru-buru ia menutup sepasang telinganya, gentar untuk mendengar lengkingan Eti. Tapi celaka! Suara dari panggung itu tetap saja bergaung. Lebih-lebih gemuruh teriakan yang membahana itu! Pastilah pekik kekecewaan! Pastilah kegaduhan! Pastilah pelecahan!

Tapi bukan… Ternyata itu suara tepuk tangan! Gemuruh suara pujian! Begitu meriahnya! Ya, suara tepuk tangan yang terdengar seusai Eti menyanyi! Mimpikah ini? Halusinasikah? Bukan. Yang didengarnya adalah kenyataan yang senyata-nyatanya.

Sugeng lari ke tempat pertunjukan. Melongok ke arah penonton. Ya! Mereka benar-benar berdiri memberikan tepuk tangan! Sementara di panggung sana Eti dan anggota paduan suara yang lain berkali-kali membungkukkan badan!

Begitulah, berangsur-angsur gemuruh tepuk tangan mereda pula. Sugeng menghembuskan napasnya keras-keras, lalu ikut duduk di samping seorang penonton. Ia pun mengambil sebatang rokok, menyalakannya hati-hati, mengisapnya pelan, mengepulkan asapnya penuh kenikmatan. “Bagus ya, Pak, paduan suaranya?”

“Yah, bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah. Anak Pak Gubernur yang menyanyi, masa kita teriaki suruh turun.”

Sekonyong-konyong Sugeng tersedak, mirip orang baru belajar merokok.

Yogyakarta, 1 Februari 1994